Is this it?

Lelaki itu terdiam memandangi secarik kertas yg ada di tangannya. Dua bulan sekali, di tanggal yg sama, di kamar yg sama. Tidak ada pesan elektronik, tidak ada telepon. Begitu syarat yang diminta perempuan itu. Hari ini seharusnya adalah saat lelaki itu bertemu dengan perempuan yang setahun belakangan mengisi semua memori indahnya. Tetapi perempuan itu tidak ada. Yang ia temukan hanya secarik kertas berisi sederet kalimat yang tidak ia pahami. Tidak ia pahami karena ia pikir perempuan itu merasakan hal yang sama. Bahwa hatinya seperti ditarik tiap kali membayangkan ia tak bisa lagi melihat senyum perempuan itu. Tapi mungkin ia salah?

“Kamu bilang, kamu ga akan balik ke hidup saya kalau kamu ga yakin bisa bahagiain saya lebih dari Fachri. Tapi kamu butuh waktu 9 tahun untuk itu. Kamu butuh 9 tahun dan pernikahan yg berantakan utk berani menggedor pintu hati saya lagi. Jadi saya rasa ini bukan soal saya. Ini soal kamu yg merasa jalan di depan hidup kamu berkabut dan kamu butuh nengok ke belakang utk cari pegangan. Kebetulan pegangan itu bentuknya saya.

I could never leave him for you, nor can I live with myself if I hurt him any more than this.

I’m sorry. I really wish somehow everything will work out in a weird way only God can do. But it’s not. It’s not working for me.

I’m sorry. I love you. I’m sorry.”

Sometimes Long After That

Ia menatap mata lelaki itu lekat-lekat. Wajahnya hanya berjarak kurang dari sejengkal. Sebuah tangan kokoh yang sekarang ini menempel di sikunya terasa panas. Kulitnya seperti terbakar api yang tidak kelihatan, tak peduli berapa helai kain yang membatasi tangan itu dan kulitnya. Panas. Mendadak udara terasa panas dan sesak. Nalarnya bolak-balik berteriak menyuruhnya pergi. “Ini bukan situasi yang siap kamu hadapi, Renata. Apapun akhirnya, kamu tahu kamu akan hancur sejadi-jadinya,” ratapnya dalam hati.

“Boleh?” tanya lelaki itu ragu. Tangan kiri yang sedari tadi masih diam, perlahan bergerak ke arah wajahnya. Hati-hati. Lelaki itu melakukan semua gerakannya dengan sangat hati-hati. Seakan Renata adalah kristal yang sewaktu-waktu akan pecah jika ia gegabah. Kristal? Mungkin bom waktu lebih tepat, pikir Renata.

Badannya tersentak saat telapak lelaki itu dan kulitnya bertemu di pipinya. Ini pasti listrik statis, pasti. Tuhan, tolong bilang ini cuma persoalan reaksi tubuh atas hawa dingin dan bukan cerminan dari perasaannya atas lelaki itu. Dia bukan gadis 15 tahun yang akan menggeliat kesetanan karena bercumbu dengan Tama, si bintang basket SMA Perdana pujaan para wanita. Dia bukan lagi gadis itu, dan lelaki di depannya ini juga sudah bukan lelaki gugup yang setengah mati mencintainya. Mereka punya kehidupan masing-masing. Ini tidak seharusnya terjadi. Tapi.. kenapa waktu terasa berhenti?

Dadanya tiba-tiba sesak. Ini tidak adil. Waktu memang tak pernah adil untuknya dan cinta memang lebih layak jadi musuhnya.

“Renata..”

“Sembilan..” mereka berbicara bersamaan setelah hening entah berapa lama.

“Oh. Mmh.. Sorry, kamu duluan,” kata lelaki itu pelan.

Renata ragu, ia tidak yakin dengan mulutnya sendiri.

“Sembilan tahun. Sembilan tahun semenjak terakhir saya bilang putus sama kamu. Marah, nangis, sakit, benci, maaf, lupa, jatuh lagi, marah lagi, sakit lagi, lalu lupa lagi, sampai akhirnya kamu berhasil jadi ornamen tak bergerak yang bisa saya taro di pojokan otak saya. Sembilan tahun kamu bukan siapa-siapa saya.”

Badan lelaki itu mendadak tegang seakan baru saja diguyur air es seember besar.

“Sembilan tahun, Tam. Lalu kamu cuma butuh satu hari untuk membolak-balikkan dunia saya dan ngelempar saya ke mesin waktu. Kamu tau kan ini ga adil?” Matanya mulai berkaca-kaca. Ini, perasaan ini, degupan jantungnya, aliran listrik di tubuhnya, desahan napasnya, semua seakan selalu siap menyambut sentuhan dari lelaki ini kapan saja. Ini tidak adil, Tuhan.

Lelaki itu diam. Tangannya masih menyentuh pipi mungil yang dia tahu persis semua lekuknya. Tangannya menetap di sana seakan ia telah menemukan tempat terbaik dan tak mau beranjak lagi. “Ga ada.”

“Maksud kamu, Tam?”

“Sembilan tahun itu ga ada buat saya. Saya masih liat kamu tiap hari. Masih dibawelin kamu tiap saya mulai macem-macem. Masih disemangatin kamu tiap saya jatoh. Sembilan tahun itu ga ada.”

“But.. that’s..”

“I’ll go. You don’t know how hard it is for me to let go of this face I’m holding on, but if you want me to.. I’ll walk away,” mata lelaki itu menatap Renata lekat-lekat. Ia serius. Sudah lama ia tidak pernah seserius ini, bahkan tidak saat ia harus memutuskan nasib bisnis keluarganya tiga hari lalu.

“I don’t want to, Ta. I want this. I never felt this right, not in a long time. I want to hold on to this. Forever.”

Renata lupa caranya bernapas. Paru-parunya sepertinya tidak ingat kalau ia masih menjadi organ tubuh penting untuk manusia. Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya. Sakit, tapi tidak sebanding dengan yang ia rasa di dadanya. Tak lama ada rasa asin bercampu besi terasa di lidahnya. Hidungnya mencium sayup-sayup bau amis.

Mata lelaki itu perih. Ia tahu apa artinya. Tangannya bergerak ke arah bibir yg sekarang pelan-pelan terisi cairan kemerahan. Ia tidak pernah suka lihat perempuan di depannya ini sakit. “Ta, stop. I hate to see you hurt. Saya pergi, tapi berhenti gigit bibirnya. Kamu bener, ini terlalu ga adil buat kamu.. What am I thinking?” dadanya terasa ditusuk saat ia dengan berat hati memaksa tangannya beranjak dari wajah perempuan itu.

Renata menutup matanya. Ia tahu ia harus menjawab lelaki itu pada akhirnya. Ia juga tahu kalimat apa yang seharusnya keluar setelah ini.

Lima menit..

Sepuluh menit..

Renata masih memejamkan matanya. Bulu matanya mulai basah, tak kuasa menahan air yang berontak keluar dari balik kelopaknya tak peduli seberapa kuat ia berusaha menahannya.

Dua puluh menit..

“Ta…?” Suara lelaki itu terdengar sangat lembut, nyaris memohon.

Renata menguatkan hatinya. Ia tahu, ia tidak mungkin kabur selamanya. Matanya terbuka. I

“Iya. Ini ga adil. Ga pernah adil,” tangannya menarik baju lelaki itu. Seketika bibir mereka bertemu dan aliran listrik menghantar ke sekujur tubuhnya. Aliran itu bergerak cepat, panas, sesak, lalu meledak di dalam dua tubuh manusia yang menggeliat tanpa ampun.

Sometimes in Between

How can you say you’re not happy with your life? How can you say you always feel something is missing and you live upon so many regrets?

With that happy faces of both of you all over the social media, with all the check ins at hip places, with all of those vacation to all those countries, how can you come to me and say you’re missing something? That must have been the biggest bullshit I’ve heard this year.

Okay, you’re not happy? Good for you then. Better luck next year. But hell, I don’t want to know about it. So pack your unhappy feeling, your something’s-missing-in-my-life, and get the hell out of my sight.

—–

Lelaki itu membaca surat itu berulang-ulang. Hatinya mencelos. Salah. Ia salah. Lagi-lagi ia salah. Serba salah. Apapun yg ia katakan pada perempuan itu pasti salah. Mungkin sudah saatnya ia menyerah. Tapi..

Tapi..

Kembali dihisapnya rokok yg masih menyala di sela-sela jemari tangan kanannya. Rokok itu tinggal setengah. Seperti hatiku, pikirnya dalam hati. Ia lalu tertawa sendiri. Segitu menyedihkan kah kisah cintanya? Bila iya pun itu adalah kesedihan yg dibuatnya sendiri. Nasi sudah menjadi bubur. Tak ada lg yg bisa ia perbuat, bukan? Bukan? Bukan?

Atau.. ada?

Ah sudahlah.

Lelaki itu melipat kembali surat yg entah sudah berapa puluh kali ia baca. Dimasukkannya ke lipatan sebelah kiri paling dalam di dompetnya. Di situ tempatnya. Selalu di situ. Tidak akah pernah hilang. Ah.. andai saja perempuan itu tau.

Rokoknya telah mati. Saatnya beranjak pergi. Renata… Sampai berjumpa lagi. Dalam anganku yg lain lagi. Ia lalu melangkahkan kaki, menuju rumah tempatnya kembali. Ke tempat perempuan yg ia sebut istri.

 

Once upon a time after that..

Lelaki itu melirik jam tangannya. Bukan, bukan karena ia ingin buru-buru pergi dari tempat itu. Ia tahu, perempuan di depannya hanya punya waktu sampai jam enam dan masih terlalu banyak hal yg ingin ia bicarakan pada perempuan itu. Ia berharap jarum jamnya berhenti. Semua tanggung jawabnya, jalan hidup yg ia pilih, cerita-cerita yg mengitari sejarah ia dan perempuan itu berhenti. Hanya ia dan perempuan itu, di momen ini, berhenti. Agar ia dapat melumat tatapan perempuan itu lekat-lekat. Pelan-pelan. Menikmati setiap komunikasi non-verbal yg berdansa di antara mereka.

“Kamu ngedapetin perempuan yg kaya saya. Lebih tua dari kamu yg otomatis lebih bisa ngurus kamu, agak asal yg otomatis bisa kamu ajak bercanda sesilly apapun, bisa kamu tanyain pendapatnya, plus dengan kelebihan-kelebihan yg tidak saya miliki. Bukannya itu yg selalu kamu pengenin? Berarti sudah tercapai toh? Apa perlu saya nyanyi bait pertama Someone Like You-nya Adele untuk memperjelas situasinya?”

“Ghehehe.. kamu bisa aja, Ta. Dia.. oke. Saya akuin, ada beberapa hal dari dia yg ngingetin saya sama kamu. Tapi.. ya.. ga ko. Kamu bukan dia.”

“Ya iya lah saya bukan dia. Kalo saya dia mungkin kamu milihnya saya. Gitu maksud kamu? Hih. Masih aja egomaniak, Tam.”

“Ampun, Ta.. Kenapa sih kamu selalu aja nganggepnya yg jelek-jelek aja ke saya? Kayanya apa aja yg keluar dari mulut saya tuh jelek semua. Kamu juga tau lah, bukan itu maksud saya!” Balasnya seraya frustasi. Frustasi. Satu kata yg paling tepat menggambarkan reaksi yg kerap kali muncul tiap ia berhadapan dengan perempuan ini. Perempuan ini selembut air yg menyejukkan di siang hari, tapi juga sekeras batu. “Ga semua hal itu kaya bilangan biner. Ga selalu salah bener.”

“Bilangan biner? Salah bener? Haloo… bumi memanggil Tama, harap tolong alien di depan saya dituker dengan Tama yg asli. Sejak kapan kamu mikirin hal-hal kaya gitu? Bukannya buat kamu semua selalu item-putih? Semua sederhana. Ga perawan = murahan. Agama islam = bener. Yg lain = salah. Begitu bukan?” Lelaki itu ingin menepuk kepalanya sendiri. Waktu mereka hanya sedikit, ia tidak ingin waktu itu habis hanya untuk obrolan absurd begini. Ia ingin.. ia ingin.. ia termenung. Apa ya yg sebenernya ia ingin? Ia juga tahu kalau pertemuan ini tidak akan membuatnya lega sedikitpun. Yg ada mungkin hanya menambah karat di dalam dadanya. Tapi ia dengan bodohnya, nekat melakukannya lagi dan lagi. Sakit. Mungkin ia sakit. Tidak, jawabnya sendiri seraya menggelengkan kepalanya. Bukan ia yg sakit, perempuan di depannya yg sakit. Karena masuk akal buatnya untuk ingin menemui perempuan ini lagi dan lagi, tapi buat perempuan ini? Perempuan ini pasti sangat sakit untuk mau menemuinya lagi. Atau terlalu baik. Atau.. cinta? Mungkinkah perempuan ini masih menyisakan cinta untuknya? Ia menatap mata perempuan itu.

“Renata, kamu bahagia?” Perempuan itu diam seraya menatapnya. Diam. Satu.. dua.. lima detik berlalu. Perempuan itu pun menghela napasnya.

“Iya, Tama. Saya bahagia. Saya ga ingin apapun dari hidup saya sekarang berubah. Not even one thing. Tapi kamu juga tahu, rasa itu masih selalu ada. Sakit, kecewa, ga percaya, marah, mengutuki diri sendiri, rindu, maaf, semua terkubur bersama sejuta momen yg ga bisa saya cabut dari kepala saya dan segala tanda tanya yg cuma bisa saya relain keberadaaannya. Semakin lama saya ngejalanin hidup saya, semakin saya sadar kalau Fachri bukan pilihan. He’s the only option for me. Not because I can’t afford to have another, but he just it. He is everything. so yes, I am happy as I am.” Perempuan itu melontarkan kalimat terjujurnya. Lelaki itu tahu, ia ikut bahagia mendengarnya. Tapi.. kenapa karat-karat ini tidak kunjung pudar? Setiap ia memberanikan diri menatap mata perempuan ini, karat-karat di dadanya bagai beradu bergesekan, mengeluarkan bunyi-bunyi aneh yg menyesakkan nafasnya.

“Gini loh.. kamu bisa menjalani hidup kamu dengan gampang karena ga banyak yg berubah. Kamu ngedapetin orang yg kaya saya, tapi lebih baik. Kamu ngejalanin hubungan kamu seperti kamu menjalani hubungan kamu dengan saya dulu, tapi lebih menyenangkan. Ga banyak yg berubah. Buat saya ga gitu. I live a completely different life, have someone completely different than you, and having a relationship like nothing I’ve had with you. In a sense, what I have now is better than I can imagine and is exactly like I’ve always wanted. But it’s different. So it needs a lot more adjusting aside from a lot of cherishing.” Perempuan itu tersenyum. Bukan pada pria di depannya, ia tersenyum karena ia tiba-tiba teringat ejekan Fachri tadi malam. Ia  sangat mensyukuri momen-momen pribadi yg mereka bagi tiap sebelum tidur itu.

Lelaki itu kembali melihat jam. Jam enam kurang lima menit. Ia tahu, ia harus merelakan waktu berlalu lagi, menampik semua permohonannya. “Udah jam enam, Ta. Kamu mau saya anter ke kantor Fachri?” Tanyanya dengan nada kalah. Kalah karena waktu sudah pasti tidak berpihak padanya.

Nope. Ga usah, Tam. Saya bisa sendiri kok. Lagian saya ga mau cari masalah sama nyonya besar, nanti disangkanya saya kegenitan sama kamu. Hih,” jawab perempuan itu santai. “Oh iya, Fachri titip salam. Dia ga suka saya ketemu sama kamu -saya juga ga sih sebenernya- tapi dia ngehargain niat kamu karena udah ngomong langsung ke dia. I won’t say goodbye, but I do hope whatever it is bothering your heart, is done now. Hujan juga ada raatnya, bukan? Hehehe.. Ya sudah, saya jalan ya,” perempuan itu pun tersenyum dan berdiri meninggalkan tempat duduknya. Lelaki itu tersenyum. Ibunya benar, ada hal-hal yg memang tidak akan pernah ada jawabannya. Ia hanya perlu menerima. Apa ini saatnya berhenti mencari dan mulai menerima? Mungkin. Mungkin.. pikirnya.

Once upon a time

Lelaki itu memainkan rokok yang sedaritadi berada di tangannya. Matanya berlari-lari ke segala penjuru, kecuali satu tempat itu. Tempat sepasang mata dari seorang perempuan yang sangat dikenalnya berada. Ia sering mendengar kata mutiara bahwa mata adalah jendela hati, tapi baru malam ini ia benar-benar mengerti artinya.

“yah, begitu lah. Kamu kenal saya kan..” ucapnya dengan sedikit kaku diiringi tawa kecil yang dipaksakan. Perempuan itu langsung mengalihkan pandangannya ke luar jendela, memperhatikan dua anak kecil yang sibuk berlarian di bawah rintik hujan. Tetiba perempuan itu merasa getir. Dulu juga ia suka berlarian di bawah hujan, tertawa-tawa tanpa beban tanpa perlu memikirkan baju dalamnya yang akan tembus pandang ataupun ratusan ribu yang baru saja ia habiskan di salon terkemuka untuk membuat rambutnya terlihat sempurna seperti sekarang.

No, I don’t” sahut perempuan itu dengan suara yang nyaris tak terdengar dan pandangan yang masih mengarah ke dua anak kecil tadi.

“Hah? Kamu barusan ngomong sesuatu?” Tanya lelaki itu sedikit bingung. Perempuan itu lalu menengok ke arahnya. Membuat kontak mata yang dari tadi ia hindari. Ia tak bisa lari lagi, saatnya harus menghadapi, pikir lelaki itu.

I don’t know you. I used to know you. Not anymore” ucap perempuan itu mantap tanpa sekalipun melepaskan pandangannya dari sepasang mata yang ketakutan itu. Lelaki itu terdiam. Ia mematikan rokoknya dan menatap perempuan itu dengan serius.

“Iya, salah saya. Kamu ga kenal saya lagi, saya sadar sepenuhnya emang salah saya. Saya minta maaf. Tapi saya belum berubah, Ta. Masih Tama yang kamu kenal. Saya masih laki-laki itu, lelaki payah yang suka nangis di depan kamu. Masih sama Ta, ga berubah.”

No. You’re not. Kamu bukan Tama yang saya kenal. Bahkan saya pun juga bukan Renata yang kamu kenal. Kita bukan lagi ‘renatama’ yang dulu kita tulis di mana-mana. Lebih jauh, kita udah bukan kita. Sekarang cuma ada kamu, Tama, dan saya, Renata. Dua hal yang ga ada hubungannya. Jadi saya ga ngerti untuk apa ada basa-basi bertukar kabar ini. Kamu mau apa sih sebenernya?” Perempuan itu mulai kesal, ia merasa diremehkan. Dua tahun sudah mereka tidak bertegur sapa, hanya karena pertemuan tak sengaja di warung kopi ini tetiba lelaki ini bersikap kalau semua hal masih sama. Dia pikir dia siapa, rutuk perempuan itu.

“Saya.. cuma..” ingin minta maaf, lanjutnya dalam hati. Kata yang tak pernah berhasil melukiskan rasa bersalahnya. Seberapa banyak pun kata itu terucap, tidak akan pernah cukup untuk bisa menarik lagi perbuatannya dan menghapus luka perempuan itu, pikirnya. Lelaki itu mengambil rokok yang ada di sebelah tangan kanannya dan mulai menyalakan satu batang racun favoritnya. Salah, bukan rokok, racun favoritnya adalah cintanya pada perempuan yang ada di depannya ini, lanturnya dalam hati. Cinta yang ia pikir sudah lama mati sampai tadi ia tidak sengaja bertemu mata itu lagi.

“Terus, apa kabar.. mmh.. Fachri?” tanyanya berusaha mengalihkan pembicaraan. Perempuan itu sudah mengalihkan pandangan dari matanya, lelaki itu merasa sedikit lega.

“Baik,” katanya seraya mengangkat tangan kanannya, membuat cincin bermata satu yang bertengger di jari manisnya terlihat jelas. Lelaki itu tersenyum. Sudah tahu, katanya dalam hati. Kamu bukan satu-satunya stalker di sini, Ta.

“Alhamdulillah.. saya bahagia dengernya,” ucapnya dengan nada setulus mungkin.

“Please deh Tam, tanpa denger kabar itu juga kamu udah sangat bahagia. Ga usah sok noble,” jawabnya asal. Dua anak tadi masih berlarian di pinggir jalan, memainkan payung mereka yang sudah setengah usang. Ojeg payung? Pikir perempuan itu penasaran. Sederhana sekali konsep bahagia mereka, lanturnya dalam hati. Ia mendadak merasa sangat bosan dengan segala basa-basi yang disuguhkan lelaki di depannya, ia ingin cepat pulang tapi hujan sialan itu menahannya di sini. Padahal Fachri pasti sudah di rumah, menantinya dengan semangkuk pasta panggang seperti yang sudah dijanjikannya dari minggu lalu. Ia lalu teringat tadi malam, bagaimana Fachri memeluknya dengan erat sepanjang mereka bercinta, ia tersenyum mengingatnya.

“Ta..” panggil lelaki itu pelan. Perempuan itu seperti baru tersadar dari lamunannya lalu menengok ke arahnya dengan mimik seakan menantang ‘mau ngomong apa lagi?’. Lelaki itu ciut. Semua keberaniannya yang ada tadi ketika tak sengaja berpapasan dengan perempuan ini dan mengundangnya duduk semeja dengannya, sekarang hilang entah ke mana. Mungkin seharusnya ia tadi lari saja kembali ke mobilnya. Toh jaraknya hanya beberapa langkah dari warung kopi ini, dan ia jelas tidak akan mati hanya karena masuk angin kehujanan, pikirnya. Tapi sesuatu yang sedari tadi berputar di perutnya tiap ia memandang perempuan di depannya ini membuat kakinya kaku dan berjalan dengan sendirinya. Ke arah perempuan ini.

“Kemarin-kemarin ini Ibu sempet ngomongin kamu loh,” kata-kata itu meluncur keluar dari mulut lelaki itu tanpa sadar. “Katanya dia liat facebook kamu dan liat foto kamu pas lagi di NY, dia bilang dia bangga sama kamu tuh. Katanya kamu akhirnya bisa ngewujudin impian kamu ke sana dan dia ikut seneng,” lanjutnya.

“Oh. Tapi pasti lebih bangga pas dia punya cucu  kan?” jawab perempuan itu penuh nada sindiran. Lelaki itu langsung terdiam. Lelaki itu tahu, ia pantas mendapatkannya. Sindiran itu, maupun sindiran yang mungkin akan datang berikutnya. Ia tahu. Lalu kenapa ia tetap nekat menahan perempuan ini duduk di meja yang sama dengannya, ia pun tidak tahu jawabannya. Koreksi lagi, ia tahu persis kenapa. Detak jantungnya yang sudah dari tiga puluh menit yang lalu berdetak lebih kencang dari biasanya buktinya.

“Maaf Tam, tapi kita berdua juga tahu kalo apapun yang ibu kamu pikirin soal saya, sekarang udah ga ada hubungannya sama saya. Kamu punya hidup yang kamu urusin, punya istri yang pasti udah bersusah payah untuk bikin ibu kamu bangga, jadi omongan kamu barusan itu ga ada kepentingannya untuk kamu kasih tahu saya. Saya tahu, alasan kamu sekarang duduk di depan saya sok-sok ngajak saya ngobrol itu karena rasa bersalah kamu yang mendadak balik lagi pas kamu liat saya tadi. Maaf juga, tapi rasa bersalah kamu ke saya itu bukan urusan saya. Segala hal tentang kamu sekarang bukan urusan saya. Udah ya. Saya rasa cukup basa-basinya. Saya mau pulang, Fachri pasti ga suka saya lama-lama di sini bareng kamu. Bye,” perempuan itu beranjak dari tempat duduknya. Ia mencoba untuk melihat sepasang mata itu terakhir kalinya. Mata yang dulu selalu bisa membuatnya luluh, apapun keadaannya. Mata yang baru saja sukses membuka lagi luka lamanya. Membuat dadanya sesak menahan marah, dan matanya perih menahan tangis yang tidak boleh ia keluarkan. Tidak di sini, pikir perempuan itu, tidak untuk lelaki ini. Perempuan itu tidak ingin meneteskan barang setetespun air matanya untuk lelaki ini lagi. Ia membalikkan badannya dan langsung berjalan ke pintu keluar. Dia akan membuat dua anak kecil tadi tidak sia-sia kehujanan, hiburnya.

Lelaki itu ingin sekali menahannya pergi. Tapi ia juga tidak tahu untuk apa. Sudah terlambat untuk menahannya sekarang, terlambat tiga puluh enam bulan tiga minggu sebelas hari lalu. Kalau beranak mungkin sudah jadi tiga, lanturnya lagi. Ia lalu teringat lelaki mungilnya di rumah. Ia teringat senyumnya dan celoteh kecil ‘da..da..da..’ tiap ia menggendongnya. Tetiba saja, alasan apapun yang membuatnya ingin menahan perempuan itu dan berlama-lama duduk di warung kopi ini terasa tidak penting lagi. Betul, sama seperti perempuan itu, ia pun harus segera pulang. Ada sebentuk nyawa yang sedang menunggunya di sana.