Jatuh Cinta Seperti di Film-Film

Lo pernah ga menikmati sebuah karya entah itu lagu, film, foto, apapun lah, dan setelahnya ngerasa lo juga pengen bikin karya? It’s like there’s a burning desire in your chest to make something. Mungkin karena karya tersebut segitu okenya buat lo lalu lo jadi merasa tertantang, terpacu buat melakukan sesuatu yang bergerak ke arah the greatness that you’re enjoying. Mungkin juga karena karya tersebut membuatlo merasakan banyak hal yang ga bisa lo tampung sendiri. Apapun alasannya, itu yang lagi gue alamin setelah nonton Jatuh Cinta Seperti di Film-Film. Gue pengen nyanyi, gue pengen bisa main gitar, gue pengen bisa bikin cerita, semua.

Untuk pertama kalinya dari entah berapa lama, gue punya kepengenan untuk bikin sebuah cerita tentang dua manusia yang sedang jatuh cinta. Duh. Iri deh gue sama yg Yandy Laurens. Kok bisa ya menyajikan karya yg begitu manis dan hangat. Kok bisa menangkap cinta yang sederhana tapi beresonansi dengan hati.

“…bermain-main dengan duka yang menyerupai cinta.”

Pengen nyungsep rasanya.

A: Aduuh.. lucu banget ini orang rambutnya diwarnain gini, ampuun. Arrrggghh..

B: Yaelah, segitunya amat.

A: Duh, gue tuh walaupun cuma halu tapi kalo liat yg menurut gue lucu banget tuh ga bisa cuma yg “Ih lucu ya, gue suka deh..” tapi “Haduuh.. lucu ya, gue pengeeen.”

B: Pengen apa iiih?

A: Ga tauuu. Ga tau pengen apa. Bukan seksual loh ini. Apa ya? Ngedate gitu kali ya, pengen gue unyel-unyel mungkin?

B: Apa sih, kissing?

A: ….

B: ??

A: Oh.. itu ternyata. Iya, pengen itu. Kangen sama perasaan pas momen sesaat banget sebelum kissing sama gebetan atau pacar baru.

B: ???????

When Cupid Is a Prying Journalist

You said that the only reason Emma left her partner and rushed back to the zoo to meet Josh was because the now Josh is a successful-featured-in-magazine kind of man. I didn’t have a chance to say anything back but actually I think that’s not the case at all.

The reason why Emma (the cheater) restrained herself that long to not chase Josh (the cheated) was because the guilt. She didn’t think she’s even worthy of his acceptance. That’s why she ran to the zoo at that exact moment. Because Josh finally finally said that he wanted her back.

That makes me wonder, if there was a moment I said that I wanted you back, would you leave everything and come run to me?

I never got to ask you that.

Yes. The Cover Does Matter.

Just read my sophisticated (in a very good way) cousin’s blog and just realized that she is a book blogger (is that how you say it?). I know she has this envious passion with reading since I already follow her twitter for some time, but I didn’t know how book freak (once again, in a very good way) she was. That sure explain all the book reviews she’s been posting all along.

Being a book freak she is, she has several books-to-read list -including those followed by book challenge- for a year alone. And swear to god, I want to hide my books-read-this-year list after seeing her number :’)

So, after feeling pity for myself and my book list, I tried to reassess the way I build my reading list so far. Usually I went to my favorite bookstore Periplus every now and then, and made a note of books that got me interested. I got home and I searched the ebook in the internet, both free and paid (yes, I often read books for free, sue me!). I put it on my reading devices (my phone and Nook) and when I felt I need a new reading, I opened my phone -or Nook- and picked a random book. I usually picked it by the author or if I was bored, by the cover. So yes. Guilty as I am, I’m one of those people who still ‘judgje’ a book by it’s cover.

This is how I choose my book:

1. Personal experiences/known author

2. Friends/family/favorite writers suggestion

3. Best sellers or award winning

4. Interesting book cover

See? Yes, the cover is not the first on my list -hopefully not the first either of anyone’s list- but it’s there, haunting at the number four. I dare to bet that it will also be somewhere in a reader’s -avid or not- list. Therefore, saying don’t judge a book by it’s cover is exactly the same as saying don’t judge someone by their looks. Almost impossible. It may not be the number one thought, but it will still be there. No matter how you sugarcoated it.

Your Job is Not Your Career; let alone your gender and yourself.

Siang ini emosi ibu hamil gue keusik gara-gara lihat post seorang teman di Path. Post itu menyuarakan penolakan atas ajang Miss World yg sekarang sedang berlangsung di Bali. Sebelum lanjut ke persoalan kenapa gue merasa keganggu banget oleh post tersebut, gue mau ngelurusin beberapa hal. Satu, gue tidak mendukung ajang-ajang kecantikan manapun, termasuk Miss World. Dua, gue bukan kesel sama teman gue, tapi lebih ke isi post dan the fact that it’s been spread out so carelessly.

Dalam post tersebut dibilang kalau Miss World itu harusnya diuji urusan masak, nyuci, nyapu, ngepel, nyikat WC, bersihin kotoran bayi, mendiamkan bayi yg nangis, menapih beras, dan melayani suami karena itu baru namanya perempuan sejati. Lalu ada tambahan, kalau cuma foto, bergaya, centil, memamerkan badan, senyum, dan melambaikan tangan, topeng monyet juga bisa (beserta beberapa foto topeng monyet).

Di sini gue ga akan ngebahas part ke dua yg menyinggung kontes Miss World saat ini, bukan itu fokusnya. Gue mau menyinggung bagian pertama yg ceritanya menggambarkan ‘ciri’ seorang perempuan sejati.

Gue emosi baca post tersebut masih ada aja yg sembarangan mengasosiasikan pekerjaan rumah tangga sebagai ciri dari perempuan sejati. WTF?

Bukan urusan gue ga mau melakukan semua pekerjaan rumah tangga itu –which by the way I gladly accepted it as part of my job now– atau gue protes kalau perempuan itu harus punya karir yg sama dengan laki-laki bla bla bla. Bukan. Cuma gue ga bisa terima sama orang yg masih berpikiran kalau pekerjaan yg lo lakuin sehari-hari adalah identitas diri lo, lebih spesifiknya lagi, gender lo. Perempuan itu manusia, sama seperti laki-laki. Perempuan punya hak memilih apa yg ingin mereka lakukan dalam hidup. Perempuan, lagi-lagi sama seperti laki-laki, juga punya kewajiban untuk mengembangkan diri menjadi manusia seutuhnya.

Misalnya gue deh. Laki gue kerja kantoran, pergi pagi pulangnya malem. Dia juga pencari nafkah utama dalam keluarga gue. Saat ini gue memilih hanya kerja sampingan, yg setiap minggunya mengambil 6 – 12 jam waktu hidup gue. Logikanya jelas, pekerjaan rumah tangga ya adalah bagian dari tugas gue. Ngurusin makan suami –yg tidak selalu gue yg masak sendiri- juga urusan gue. Gimana ga? Laki gue cape bok dari pagi sampe malem kerja untuk kita berdua, masa iya pulang gue tega ngebiarin gitu aja. Itu orang yg gue sayang banget dan menurut negara sah sebagai tanggung jawab gue loh.

Kalau misalnya nanti kebutuhan gue atau keluarga gue berubah dan gue punya kerjaan kantoran yg menyita waktu gue 40-50 jam per-minggunya, ya solusi untuk keluarga gue jg mungkin akan berubah. Entah itu gue cari pembantu atau bahu-membahu sama suami untuk urusan pekerjaan rumah tangga, atau apapun itu yg sesuai dengan kebutuhan pada saat tersebut.

Intinya, kalaupun nanti gue tidak lagi mengerjakan pekerjaan rumah, hal itu ga terus membuat gue jadi perempuan yg tidak sejati. Karena hal-hal tersebut adalah hanya bagian dari apa yg gue kerjain dan bukan hal yg membentuk diri gue, apalagi mendefinisikan diri gue sebagai seorang perempuan. Manusia (mau laki atau perempuan) itu intinya mengembangkan diri, supaya berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Peran yg kita ambil untuk menjadikan diri kita berguna ya itu pilihan masing-masing orang.  Jadi kesejatian gue sebagai seorang perempuan dan manusia bukan lagi soal ngelahirin anak, nyuci, ngepel, jadi pengusaha atau kerja kantoran karena itu semua cuma sesuatu yg kita kerjakan untuk memenuhi kebutuhan.

Balik lagi ke post tersebut, I know that it was meant to be a joke. Tapi miris rasanya denger orang sembarangan ngomong dan gampang aja nyebarin pikiran-pikiran yg selama ini berusaha dilawan oleh sebagian besar kaum perempuan.

After all, I bet no men would be happy if the world think the best way to define a real man is how good they are at being an ATM machine for their wife. Because trust me, if that’s the case, more than 70% of the men will not pass the test.

(Your Job is Not Your Career is the slogan of @ReneeCC, career motivator)

The (un)conditional love

Just today I heard a friend said ‘but I love him..’ Without any intention to discredited my friend, suddenly I remembered all the similar scenes that have happened between us. I gave her reasoning, she answered with ‘but I love him..’ Somehow, this ‘but I love you’ scenes makes me wonder. I start counting how many of that ‘I love you’s that can still be claimed true until this second. I don’t know her answer, but with the exception of this recent case, I think the answer is none.

So what does that make of her? Or more, of love?

I used to believe that real love is something irrevocable. Something immortal. Something that can last forever. So if you wake up one day and realize that you don’t love someone, it means that it was never really love. You just thought it is. But is it really true?

We all heard a saying that the closest one a human can love uncondititionally is the love to her (and maybe his) children. But I never imagined that the ‘condition’ is as plain as good or bad: I love you as long as you’re good to and for me. I mean, I always thought that love is blind and love is the purest form of emotion because it exists without any calculation of logical thinking. The phrase like ‘I know he’s a jerk, but I love him still’ is very love-ish. If you end up leaving that person, it is not because you stop loving them, you just start to think rationally. That’s why the promise in marriage is ‘to love you forever, in sickness and in health, bla bla bla’ NOT ‘I will stay with you forever, bla bla bla’. Because unconciously people believe that love can be forever, but not with the relationship.

But then again is that really?

My point is, no one is that perfect. One way or another, you’ll get hurt, you’ll be dissapointed. So if love is not that strong and not that irrevocable, then why should we make big decisions in our life based on or because of love?

 

Believe.

Tadi malam KPK didatengin beberapa polisi, provost, dll. Kaum menengah Indonesia bergerak. Dimulai dari beberapa wartawan yg berkicau di twitter sampai akhirnya jadi viral. Yg bantu juga macem-macem. Dari yg ikutan gabung untuk buat pagar manusia, kasih info kebutuhan mereka yg di sana (cth: air minum), dan penggerak massa lewat twitter dengan cara RT.

Orang-orang yg biasanya ga pernah keliatan masih melek sampai dini hari sampe ikutan mantengin twitter dan berita. Beramai-ramai mengejek ketika Polri mulai konfrensi pers dengan amat tidak yakin dan bersorak setiap bukti-bukti kebodohan dan kebejatan polisi mulai terkuak.

Lalu apa artinya?

Buat anda? Tidak tau. Tapi buat saya jelas. Artinya kita perlu semakin banyak orang untuk percaya akan sesuatu, apapun. Kebenaran, kebaikan, politik bersih, kemakmuran, apapun. Gerakan tadi malam bisa ada karena banyak orang yg percaya kalo KPK itu benar dan kebenaran patut dibela. Keberpihakan untuk sesuatu yg benar -setidaknya bagi mereka. Dan dari percaya itu, keluarlah perjuangan.

Pilih dengan akal sehat apa yg akan anda percaya, lalu berpihaklah, dan perjuangkan dengan hati. Buat saya hidup tanpa percaya apa-apa itu rugi. Dan hidup dengan menggantungkan rasa percaya pada suatu yg semu seperti uang, rasanya tambah rugi lagi.

This is why..

A couple of days ago, a friend of mine has just lost her child right after she gave birth to him. He was premature and his kidney was kind of on the outer of his body. She was devastated, her whole family was, so was I.

There’s so many wrong things going on. It should have been foreseen by the doctor when she had an ultrasound, why didn’t it? I mean she must had it right before she gave birth, the baby was premature after all. So why didn’t anyone knows about it?

One of the family member said that she remembered her having this stomacache before she knew she was pregnant. And her clueless father kept on giving her some medicine for her stomach pain. Some of them think that maybe the cause of this unfortunate event.

One of the thing was.. well.. she was married by accident. So there’s this assumption that maybe she was trying to get herself unpregnant (is that really a word?) before she finally decided to get married. That or that she was simply clueless and misguided since she wasn’t close to her mother and her father was really clueless about this side of womanhood.

Anyhow, that didn’t really matters. What I’m trying to say is..

I hate that women in my country are lacking the information they need about their body. This is exactly why sex education is playing a big role. Sex education is not about learning how to have sex, it’s about learning our own body and how our action can impact ourself and the people we love. Why can’t those so-called religious people understand? If we have more knowledge, we have more option. That’s the basic logic of everything. That is why parents want their child to have higher education, so the child jas more option in finding ways to survive. This is just the same.

If women know about her body -her cycle, what it gets to make her pregnant and how to avoid it, she will know what should she assume or DO when she is late -periodwise. A woman should know about contraception and birth control, both the option and the access to it. A woman should know how to make sure whether she were pregnant and what option she had when it happened.

Women are the ones whose carrying a baby. We are the ones -at least in my culture- who will suffer much more than men when something like an unwanted child happen. We should have taken control of our body. We are expected to be more knowledgeable and responsible and we should accept it. Women need to understand that we do have a voice when it came to our body and our savety, and our voice comes with responsibility. Including when to have sex and with whom.

Yes, some men are simply a jerk and deserved to be thrown to a garbage bin, but we also have to stop playing victims. We are as responsible as the person who touched our body -unless it wasn’t consensual, if it wasn’t then it’s a whole different story.

So there. I voiced my thoughts on it.

SSSP: Singgung Sedikit Soal Pengaruh

Beberapa hari lalu ada seorang tokoh twitter yang bilang kalo pornografi terbukti tidak berpengaruh akan tingkat perkosaan suatu negara. Saya bilang, di sini (Indonesia) berita-berita pemerkosaan hampir selalu diikuti embel-embel keterangan bahwa si pelaku melakukan tindakan tersebut sehabis menonton film porno, karena itu banyak orang yang berasumsi bahwa pornografi menyebabkan perkosaan. Orang itu menjawab, itu analisa sebab-akibat yang  malas dan terburu-buru. Buktinya berapa orang yang mengkonsumsi pornografi tapi tidak memerkosa orang? Pastinya jauh lebih banyak daripada yg memerkosa. Tindak perkosaan adalah urusan kekerasan, bukan pornografi.

Tadi pagi, saya tidak sengaja membaca artikel di internet tentang ‘incest karena pengaruh internet’. Mau tidak mau pikiran saya kembali ke rangkaian kicauan tokoh twitter tersebut. Semudah itukah kita menyimpulkan kalo sesuatu itu mempengaruhi sesuatu? Yang lebih parah, semudah itu kita berasumsi kalau A mempengaruhi terjadinya B itu sama artinya dengan A adalah sumber alasan terjadinya B. Kita suka lupa bahwa kata “pengaruh” itu luas dan sifatnya tidak sama rata untuk tiap orang.

Maksudnya gini, kita terbiasa mengambil jalan pintas sehingga ketika apabila pada kasus-kasus pemerkosaan sang pelaku mengaku melakukannnya sehabis menonton film porno, masih banyak orang yang berpikir kalau menonton film porno itu akan membuat seseorang memerkosa orang lain. Sama juga kaya kasus rok mini. Rok mini dianggap sebagai pemicu perkosaan, padahal ada berapa ratus juta laku-laki yang melihat perempuan dengan rok mini dan tidak memerkosanya?

Pola berpikir dalam menyimpulkan ‘pengaruh’ itu jadi dilihat dengan pola begini:

dilihat contoh kasus, apa yg dilakukan/kebiasaan dari orang-orang yg melakukan tindakan A.

lalu disimpulkan begini:

bahwa apa yg dilakukan/kebiasaan orang-orang yang melakukan tindakan A adalah penyebab terjadinya tindakan A.

tapi jarang dibalik diuji menjadi begini:

apakah tindakan atau kebiasaan tersebut akan membuat orang-orang yang tidak/belum pernah melakukan tindakan A menjadi melakukan tindakan A?

Misalnya gini, Budi kebiasaannya dengar musik keras dan setiap habis dengar musik keras itu bawaannya selalu jadi ingin merusak-rusak barang. Diuji ke Adi, Lala, dan Joni yang tidak suka merusak barang. Apakah ketika Adi, Lala, Joni disuruh mendengar musik yang sama mereka lalu jadi ingin merusak-rusak barang juga?  Kalau ketiganya jadi ingin merusak barang juga, baru bisa ditarik kemungkinan kalau musik keras memang penyebab terjadinya impuls merusak barang. Kalau tidak, berarti musik keras tidak bisa dibilang penyebab terjadinya impuls merusak barang.

Pola pikir seperti itu yang seharusnya juga diterapkan untuk kasus pornografi -perkosaan, rok mini – perkosaan, ataupun incest – internet. Menurut saya.